Siapa sejatinya diri kita sebagai manusia ? Pertanyaan ini sederhana,
dapat dikemukakan jawaban paling sederhana, maupun jawaban yang lebih
rumit dan rinci. Jawaban masing-masing orang tidak bisa diukur secara
benar-salah. Cara menjawab siapa diri manusia hanya akan mencerminkan
tingkat pemahaman seseorang terhadap kesejatian Tuhan. Hal ini sangat
dipermaklumkan karena berkenaan dengan eksistensi Tuhan sendiri yang
begitu penuh dengan misteri besar. Upaya manusia mengenali Sang
Pencipta, ibarat jarum yang menyusup ke dalam samudra dunia. Yang hanya
mengerti atas apa yang bersentuhan dengannya. Itupun belum tentu benar
dan tepat dalam mendefinisikan. Tuan memang lebih dari Maha Besar.
Sedangkan manusia hanya selembut molekul garam. Begitulah jika
diperbandingkan antara Tuhan dengan makhlukNya. Namun begitu kiranya
lebih baik mengerti dan memahamiNya sekalipun hanya sedikit dan kurang
berarti, ketimbang tidak samasekali.
Secara garis besar dalam diri manusia memiliki dua unsur entitas yang
sangat berbeda. Dalam pandangan ekstrim dikatakan dua unsur pembentuk
manusia saling bertentangan satu sama lainnya. Tetapi kedua unsur tidak
dapat dipisahkan, karena keduanya sebagai satu kesatuan yang tak
terpisahkan. Terpisahnya di antara kedua unsur pembentuk manusia akan
merubah eksistensi ke-manusia-an itu sendiri. Yakni di satu sisi terjadi
kerusakan/pembusukan dan di sisi lain keabadian. Umpama batu-baterai
yang memiliki dua dimensi berbeda yakni fisiknya dan energinya. Kedua
dimensi itu menyatu menjadi eksistensi batu-baterai berikut fungsinya.
Dua unsur dalam manusia yakni; immaterial dan material, metafisik dan
fisik, roh dan jasad, rohani dan jasmani, unsur Tuhan dan unsur bumi
(unsur gaib dan unsur wadag). Marilah kita urai satu persatu kedua unsur
pembentuk eksistensi manusia tersebut.
Unsur Bumi
Jasad manusia wujudnya disusun berdasarkan unsur-unsur material bumi
(air, tanah, udara, api). Unsur air dan tanah dalam tubuh terurai
secara alami melalui proses ilmiah (rumus ilmu pengetahuan manusia) dan
rumus alamiah (yang sudah berproses melalui rumus-rumus buatan Tuhan).
Unsur tanah dan air yang sudah berproses akan berubah bentuk dan
wujudnya sebagai bahan baku utama jasad yang terdiri dari empat unsur
yakni ; daging, tulang, sungsum dan darah. Sedangkan unsur udara akan
berproses menjadi kegiatan bernafas, lalu berubah menjadi molekul
oksigen dalam darah dan sel-sel tubuh. Unsur api akan menjadi alat
pembakaran dalam proses produksi jasad, tenaga, energi magnetis, dan
semua energi yang terlibat dalam memproses atau mengolah unsur tanah
dan air menjadi bahan baku jasad.
Jasad wadag menurut istilah barat sebagai body atau corpus, merupakan
wadah atau bungkus unsur Tuhan dalam diri manusia. Unsur wadah tidak
bersifat langgeng (baqa’), sebab unsur wadah terdiri dari bahan baku
bumi, maka ia terkena rumus mengalami kerusakan sebagaimana rumus bumi.
Unsur Tuhan
Sebaliknya, unsur Tuhan bersifat kekal abadi tidak terjadi rumus
kerusakan. Unsur Tuhan (Zat Tuhan) dalam tubuh manusia diwakili oleh
metafisik manusia yakni unsur roh (spirit atau spiritus). Roh merupakan
derivasi unsur Tuhan yang paling paling akhir dan paling erat dengan
bahan baku metafisik manusia (Baca Posting; Mengungkap Misteri Tuhan).
Dan spirit diartikan sebagai roh, ruh atau sukma. Roh bersifat suci (roh
kudus/ruhul kuddus), tidak tercemar oleh “polusi” dan
kelemahan-kelemahan duniawi. Karakter roh adalah berkiblat atau
berorientasi kepada martabat kesucian Tuhan. Arti kata roh sangat
berbeda dengan entitas jiwa (soul), hawa atau nafas (nafs), animus atau
anemos (Yunani), dalam bahasa Jawa apa yang lazim disebut nyawa.
Sekalipun berbeda istilah, tetapi memiliki makna yang nyaris sama.
Pertemuan Unsur Bumi dan Unsur Tuhan
Dalam tubuh manusia terdiri atas dua unsur besar yakni unsur bumi dan
unsur Tuhan. Di antara kedua unsur tersebut terdapat “bahan
penyambung”, dalam literatur barat disebut soul atau jiwa (yang ini
terasa kurang pas), Islam; nafs, Yunani; anemos, dan dalam bahasa
Indonesia; hawa, Jawa; nyawa (badan alus). Hawa, jiwa, anemos, soul,
atau nyawa merupakan satu entitas yang kira-kira tidak berbeda maknanya,
berfungsi sebagai media persentuhan atau “lem perekat” antara roh
(spirit) dengan jasad (body/corpus). Hawa, nafs, anemos, soul, jiwa,
nyawa bermakna sesuatu yang hidup (bernafas) yang ditiupkan ke dalam
corpus (wadah atau bungkus).
Dalam khasanah hermeneutika dan bahasa yang ada di nusantara tampak
simpang siur dan tumpang tindih dalam memaknai jiwa, sukma, roh, dan
nyawa. Ini sekaligus membuktikan bahwa memahami unsur Tuhan dalam diri
manusia memang tidak sederhana dan semudah yang disebutkan. Karena
obyeknya bersifat gaib, bukan obyek material. Cara pandang dan
penafsiran dari sisi yang berbeda-beda, menimbulkan konsekuensi
beragamnya makna yang kadang justru saling kontradiktif. Dengan alasan
tersebut akan saya paparkan lebih jelas pemetaan tentang jiwa atau hawa
dari sudut pandang budi-daya yang diperoleh melalui berbagai
pengalaman obyek metafisika, dan intuisi, agar lebih netral dan mudah
dipahami oleh siapa saja tanpa membedakan latar belakang agama. Dengan
asumsi tersebut diperlukan perspektif yang sederhana namun mudah
dipahami. Kami akan memaparkan melalui perspektif Javanism atau
kejawen, dengan cara penulisan yang sederhana dan “membumi”.
Hubungan Unsur Tuhan dengan Unsur Bumi dalam Laku Prihatin
Setiap bayi lahir memiliki tingkat kesucian yang dapat diumpamakan
sebagai kertas putih bersih. Kesucian berada dalam wahana nafs atau hawa
yang masih bersih belum tercemar oleh “polusi” keduniawian.
Hawa/nyawa/nafs diuji bolak-balik di antara dua kutub; yakni kutub
jasmaniah yang berpusat di jasad (corpus) dan kutub ruhaniyah yang
berpusat pada roh (spirit). Unsur roh bersifat suci dan tidak tersentuh
oleh kelemahan-kelemahan material duniawi (dosa). Roh suci sebagai
“utusan” Tuhan dalam diri manusia yang dapat membawa ketetapan/pedoman
hidup. Sehingga roh dapat berperan sebagai obor yang memancarkan cahaya
(spektrum) kebenaran dari Tuhan. Dalam perspektif Jawa roh suci (utusan
Tuhan) tidak lain adalah apa yang disebut sebagai Guru Sejati. Guru
Sejati tampil sebagai juru nasehat untuk hawa, jiwa atau nafs.
Hawa Nafsu ; Ibarat Satu Keping Mata Uang
Hawa (nafs) atau jiwa yang tunduk kepada roh suci (guru sejati) akan
menghasilkan hawa (nafs) yang disebut nafsu positif –meminjam istilah
Arab— sebagai an-nafs al-muthmainah.. Sebaliknya jiwa atau hawa yang
tunduk pada keinginan jasad disebut sebagai nafsu negatif. Nafsu negatif
terdiri tiga macam; nafsu lauwamah (kepuasan biologis; makan, minum,
tidur dst), nafsu amarah (amarah/angkara murka), dan nafsu sufiyah
(mengejar kenikmatan psikis; contohnya seks, sombong, narsism, gemar
dipuji-puji). Hawa memiliki dua kutub nafsu yang bertentangan ibarat
satu keping mata uang yang memiliki dua sisi. Akan tetapi kedua sisi
tidak dapat dipisahkan atau dilihat secara berbarengan. Apabila kita
ingin menampilkan gambar angka, maka letakkan nilai nominal di sisi
atas, sebaliknya jika kita berkehendak melihat gambar burung kita
letakkan gambar angka di bawah. Apabila seseorang mengaku bisa melihat
kedua sisi satu keping mata uang dalam waktu yang sama, maka seseorang
dikatakan berjiwa munafik alias kehidupan yang palsu hanya berdasarkan
pengaku-akuan bohong.
Manusia Bebas Mencoblos Memilih
Pada setiap bayi lahir, Tuhan telah menciptakan hawa dalam keadaan
putih/suci. Manusia memiliki kebebasan menentukan apakah hawa nafsunya
akan berkiblat kepada kesucian yang bersumber pada roh suci (ruhul
kuddus), atau sebaliknya ingin berkiblat kepada kemungkaran jasad/raga
(unsur duniawi). Apabila seseorang berkiblat pada kemungkaran akan
menjadi seteru Tuhan dan memiliki konsekuensi (dosa/karma/hukuman) yang
akan dirasakan kelak setelah menemui ajal (akhirat), bisa juga
dirasakan sewaktu masih hidup di dunia. Maka peranan semua agama yang
ada di muka bumi adalah pendidikan yang ditujukan kepada hawa/nafs/jiwa
manusia agar selalu berkiblat kepada rumus Tuhan atau qodratullah.
Sumber dari ilmu dan “rumus Tuhan” (qodratullah) bisa kita temukan
dalam “perpustakaan” atau gudang ilmu yang terdekat dengan diri kita,
yakni roh suci (Ruhul-Kuddus/Guru-Sejati/Sukma-Sejati/Rahsa-Sejati).
Kadang kala Tuhan Maha Pemurah menganugerahkan seseorang untuk
mendapat “bocoran soal” akan rahasia “ilmu Tuhan” melalui pintu hati
(qalb) yang di sinari oleh cahyo sejati (nurullah). Yang lazim disebut
sebagai ungkapan dari (hati) nurani. Petunjuk dari Tuhan ini diartikan
sebagai wirayat, wahyu, risalah, sasmita gaib, ilham, wisik dan
sebagainya. Dalam posting ini kami tidak membahas model dan macam
petunjuk Tuhan tersebut.
Laku Prihatin adalah Jihad Sejati
“Penundukan” roh terhadap hawa nafsu negatif adalah penundukkan
terhadap segala yang berhubungan dengan material (syahwat) atau
kenikmatan ragawi. Dengan kata lain yakni penundukan unsur “Tuhan”
terhadap unsur bumi. Dalam ilmu Jawa dikatakan sebagai jiwa yang tunduk
pada kareping rahsa / rasa sejati (kehendak Guru Sejati/kehendak
Tuhan), serta meredam rahsaning karep (kemauan hawa nafsu negatif).
Segenap upaya yang mendukung proses “penundukan” unsur Tuhan terhadap
unsur bumi dalam khasanah Jawa disebut sebagai laku prihatin. Dengan
laku prihatin, seseorang berharap jiwanya tidak dikendalikan oleh
keinginan jasad. Maka di dalam khasanah spiritual Kejawen, laku
prihatin merupakan syarat utama yang harus dilakukan seseorang
menggapai tingkatan spiritualitas sejati. Seperti ditegaskan dalam
serat Wedhatama (Jawa; Wredhotomo) karya KGPAA Mangkunegoro IV; bahwa
ngelmu iku kalakone kanthi laku. Laku prihatin dalam istilah Arab
sebagai aqabah, yakni jalan terjal mendaki dan sulit, karena seseorang
yang menjalani laku prihatin harus membebaskan diri dari perbudakan
syahwat dan hawa nafsu yang negatif. Di mana ia sebagai sumber
kenikmatan keduniawian. Maka apa yang disebut sebagai Jihad yang
sesungguhnya adalah perang tanding di medan perang dalam kalbu antara
tentara Muslim nafsu positif melawan tentara Amerika nafsu negatif.
Disebut kemenangan dalam berjihad apabila seseorang telah berhasil
“meledakkan bom” di pusat kekuasaan setan (hawa nafsu negatif) dalam
hati kita. “Bahan peledaknya” bernama C4 dan TNT laku prihatin dan
olah batin (wara’ dan amr ma’ruf nahi munkar).
Target Utama dalam “Berjihad” (Laku Prihatin)
Perjalanan spiritual dalam bentuk laku prihatin, mempunyai target
membentuk hawa nafsu positif atau nafsul muthmainnah. Karena si nafs
atau hawa tersebut telah stabil dalam koridor rumus Tuhan (qodrat atau
qudrah diri) atau dalam bahasa sansekerta lazimnya disebut sebagai
swadharma. Roh yang berada pada tataran pencapaian ini, dalam bahasa
Ibrani, ruh disebut sebagai syekinah yang diturunkan ke dalam kalbu dan
berhasil merebut (amr) kebaikan (ma’ruf). Jika hawa tidak berdaya
karena kuatnya arus nafsu negatif yang dimasukkan jasad lewat pintu
panca indera, maka kepribadian manusia dikuasai oleh “milisi” kekuatan
batin yang oleh Freud diberi nama ego. Ego cenderung berkiblat pada
jasad (duniawi). Maka sudah menjadi tugas hawa (id) untuk membangkang
dari keinginan ego agar supaya membelot kepada kekuatan hawa positif
(super ego). Hasilnya maka manusia dapat dikendalikan sesuai dengan
kodrat dirinya sebagai khalifah Tuhan. Jadilah manusia yang tetap
berada pada orbitNya (qodrat/rumus Tuhan), yakni apa yang dimaksud
menjadi titah jalma menungsa kang sejati, yaiku nggayuh kasampurnaning
gesang, (untuk meraih) sastra jendra hayuningrat pangruwating diyu.
Sangat terasa bahwa Tuhan sungguh lebih dari Maha Adil, setiap
manusia tanpa kecuali dapat menemukan Tuhan melalui pintu nafs, jiwa,
atau hawanya masing-masing, karena Tuhan telah membekali jiwa manusia
akan kemampuan menangkap sinyal-sinyal suci dari Hyang Mahasuci.
Sinyal suci yang diletakkan di dalam rahsa sejati (sirullah) dan roh
sejati (ruhullah). Sudah merupakan rumus (Tuhan), apabila seseorang
dapat meraih dharma-nya atau kodrat-dirinya sebagai makhluk ciptaan
Tuhan, maka kehidupannya akan selalu menemui kemudahan. Sebaliknya hawa
nafsu negatif (setan) senantiasa menggoda hawa/nafs manusia agar
supaya hawanya berkiblat kepada unsur bumi.
Menjadi Pribadi yang Menang
Sepanjang hidup manusia selalu berada di dalam arena peperangan
“Baratayudha/Brontoyudho” (jihad) antara kekuatan nafsu positif (Pendawa
Lima) melawan nafsu negatif (100 pasukan Kurawa). Perang berlangsung
di medan perang yang bernama “Padang Kurusetra” (Kalbu). Peperangan
yang paling berat dan merupakan sejatinya perang (jihad fi sabilillah)
atau perang di jalan kebenaran.
Kemenangan Pendawa Lima diraih tidak mudah. Dan sekalipun kalah
pasukan Kurawa 100 selamanya sulit dibrantas tuntas hingga musnah.
Maknanya sekalipun hawa nafsu positif telah diraih, artinya hawa nafsu
negatif (setan) akan selalu mengincar kapan saja si hawa lengah.
Kejawen mengajarkan berbagai macam cara untuk memenangkan peperangan
besar tersebut. Di antaranya dengan laku prihatin untuk meraih
kemenangan melalui empat tahapan yang harus dilaksanakan secara tuntas.
Empat tahapan tersebut dikiaskan ke dalam nada suara salah instrumen
Gamelan Jawa yang dinamakan Kempul atau Kenong dan Bonang yang
menimbulkan bunyi; Neng, Ning, Nung, Nang.
1. Neng; artinya jumeneng, berdiri, sadar atau bangun untuk
melakukan tirakat, semedi, maladihening, atau mesu budi. Konsentrasi
untuk membangkitkan kesadaran batin, serta mematikan kesadaran jasad
sebagai upaya menangkap dan menyelaraskan diri dalam frekuensi
gelombang Tuhan.
2. Ning; artinya dalam jumeneng kita mengheningkan daya cipta
(akal-budi) agar menyambung dengan daya rasa- sejati yang menjadi sumber
cahaya nan suci. Tersambungnya antara cipta dengan rahsa akan
membangun keadaan yang wening. Dalam keadaan “mati raga” kita
menciptakan keadaan batin (hawa/jiwa/nafs) yang hening, khusuk, bagai
di alam “awang-uwung” namun jiwa tetap terjaga dalam kesadaran
batiniah. Sehingga kita dapat menangkap sinyal gaib dari sukma sejati.
3. Nung; artinya kesinungan. Bagi siapapun yang melakukan
Neng, lalu berhasil menciptakan Ning, maka akan kesinungan (terpilih
dan pinilih) untuk mendapatkan anugrah agung dari Tuhan Yang Mahasuci.
Dalam Nung yang sejati, akan datang cahaya Hyang Mahasuci melalui rahsa
lalu ditangkap roh atau sukma sejati, diteruskan kepada jiwa, untuk
diolah oleh jasad yang suci menjadi manifestasi perilaku utama
(lakutama). Perilakunya selalu konstruktif dan hidupnya selalu
bermanfaat untuk orang banyak.
4. Nang; artinya menang; orang yang terpilih dan pinilih
(kesinungan), akan selalu terjaga amal perbuatan baiknya. sehingga amal
perbuatan baik yang tak terhitung lagi akan menjadi benteng untuk
diri sendiri. Ini merupakan buah kemenangan dalam laku prihatin.
Kemenangan yang berupa anugrah, kenikmatan, dalam segala bentuknya
serta meraih kehidupan sejati, kehidupan yang dapat memberi manfaat
(rahmat) untuk seluruh makhluk serta alam semesta. Seseorang akan
meraih kehidupan sejati, selalu kecukupan, tentram lahir batin, tak
bisa dicelakai orang lain, serta selalu menemukan keberuntungan dalam
hidup (meraih ngelmu beja).
Neng adalah syariatnya, Ning adalah tarekatnya, Nung adalah
hakekatnya, Nang adalah makrifatnya. Ujung dari empat tahap tersebut
adalah kodrat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar