Saat ini banyak kaum wanita yang menggunakan jilbab dan seakan-akan
menjadi tren mode. Jilbab yang digunakan pun beraneka ragam. Mulai dari
jilbab gaul sampai jilbab syar’i. Lalu bagaimanakah sebenarnya jilbab
dalam pandangan Islam?
Ketika masyarakat kita mengenal kata ‘jilbab’ (dalam bahasa
Indonesia) maka yang dimaksud adalah penutup kepala dan leher bagi
wanita muslimah yang dipakai secara khusus dan dalam bentuk yang khusus
pula. Lalu bagaimanakah kata ‘jilbab’ muncul dan digunakan dalam
masyarakat arab khususnya pada masa turunnya Al-Qur’an kepada Nabi
Muhammad SAW dalam surat Al-Ahzaab ayat 56(?). Apa yang dimaksudkan
Al-Qur’an dengan kata ‘jalabiib’ bentuk jamak (plural) dari kata jilbab
pada saat ayat kata itu digunakan dalam Al Quran pertama kali(?) Sudah
samakah arti dan hukum memakai jilbab dalam Al-Quran dan jilbab yang
dikenal masyarakat Indonesia sekarang(?).
Selain kata jalabiib (jamak dari ‘jilbab’), Al-Qur’an juga memakai kata-kata lain yang maknanya hampir sama dengan kata ‘jilbab’ dalam bahasa Indonesia, seperti kata khumur (penutup kepala) dan hijab (penutup secara umum), lalu bagaimana kata-kata serupa dalam ayat-ayat Al Quran tersebut diterjemahkan dan dipahami dalam bahasa syara’ (agama) oleh para sahabat Nabi dan ulama’ selanjutnya.
Oleh karena itu kita tidak akan tahu pandangan syara’ terhadap hukum
suatu permasalahan kecuali setelah tahu maksud dan bentuk kongkrit serta
jelas dari permasalahan itu, maka untuk mengetahui hukum memakai jilbab
terlebih dahulu harus memahami yang di maksud dengan jilbab itu sendiri
secara benar dan sesuai yang dikehendaki Al-Qur’an ketika diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW dan bangsa arab saat itu.
Salah satu dimensi i’jaz (kemukjizatan) Al-Qur’an adalah kata-kata
yang dipakai Al-Qur’an sering menggunakan arti kiyasan atau dalam sastra
arab disebut majaz (penggunaan satu kata untuk arti lain yang bukan
aslinya karena keduanya saling terkait), hal ini menimbulkan benih
perbedaan, begitu pula kata-kata dalam nash-nash (teks-teks) Hadist dan
bahasa arab keseharian, oleh karena itu tidak jarang bila perselisian
antara ulama-ulama Islam dalam satu masalah terjadi disebabkan oleh hal
di atas, dan yang demikian itu sebenarnya bukanlah hal yang aneh dan
bisa mengurangi kesucian atau keautentikan teks-teks Al-Qur’an, tapi
sebaliknya.
Mungkin kita juga pernah mendengar wacana kalau berjilbab maka harus
menutup dada, lalu bagaimana kalau jilbabnya berukuran kecil dan tidak
panjang ke dada dan lengan, apakah muslimah yang memakainya belum
terhitung melaksanakan seruan perintah agama dalam Al-Qur’an itu sebab
tidak ada bedanya antara dia dan wanita yang belum memakai jilbab sama
sekali, apakah sama dengan wanita yang membuka auratnya (bagian badan
yang wajib di tutup dan haram di lihat selain mahram). Benarkah presepsi
atau pemahaman yang demikian(?). Apa seperti itu Al-Qur’an
memerintahkan(?)
Jilbab
Arti kata jilbab ketika Al-Qur’an diturunkan adalah kain yang menutup dari atas sampai bawah, tutup kepala, selimut, kain yang di pakai lapisan yang kedua oleh wanita dan semua pakaian wanita, ini adalah beberapa arti jilbab seperti yang dikatakan Imam Alusiy dalam tafsirnya Ruuhul Ma’ani.
Arti kata jilbab ketika Al-Qur’an diturunkan adalah kain yang menutup dari atas sampai bawah, tutup kepala, selimut, kain yang di pakai lapisan yang kedua oleh wanita dan semua pakaian wanita, ini adalah beberapa arti jilbab seperti yang dikatakan Imam Alusiy dalam tafsirnya Ruuhul Ma’ani.
Imam Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan; Jilbab berarti kain yang
lebih besar ukurannya dari khimar (kerudung), sedang yang benar
menurutnya jilbab adalah kain yang menutup semua badan.
Dari atas tampaklah jelas kalau jilbab yang dikenal oleh masyarakat
indonesia dengan arti atau bentuk yang sudah berubah dari arti asli
jilbab itu sendiri, dan perubahan yang demikian ini adalah bisa
dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah sebab perjalanan
waktu dari masa Nabi Muhammad SAW sampai sekarang atau disebabkan jarak
antar tempat dan komunitas masyarakat yang berbeda yang tentu mempunyai
peradaban atau kebudayaan berpakaian yang berbeda.
Namun yang lebih penting ketika kita ingin memahami hukum memakai
jilbab adalah kita harus memahami kata jilbab yang di maksudkan
syara’(agama), Shalat lima kali bisa dikatakan wajib hukumnya kalau
diartikan shalat menurut istilah syara’, lain halnya bila shalat
diartikan atau dimaksudkan dengan berdo’a atau mengayunkan badan seperti
arti shalat dari sisi etemologinya.
Allah SWT dalam Al Quran berfirman yang artinya : “Wahai Nabi
katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri
orang-orang mukmin. Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh
tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih muda untuk di kenal
karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah maha pengampun dan
penyayang. (Al-Ahzab : 59).
Ayat di atas turun ketika wanita merdeka (seperti wanita-wanita
sekarang) dan para budak wanita (wanita yang boleh dimiliki dan
diperjual belikan) keluar bersama-sama tanpa ada suatu yang membedakan
antara keduanya, sementara madinah pada masa itu masih banyak
orang-orang fasiq (suka berbuat dosa) yang suka mengganggu wanita-wanita
dan ketika diperingatkan mereka (orang fasiq) itu menjawab “kami
mengira mereka (wanita-wanita yang keluar) adalah para budak wanita”
sehingga turunlah ayat di atas bertujuan memberi identitas yang lebih
kepada wanita-wanita merdeka itu melalui pakaian jilbab.
Hal ini bukan berarti Islam membolehkan untuk mengganggu budak pada
masa itu, Islam memandang wanita merdeka lebih berhak untuk diberi
penghormatan yang lebih dari para budak dan sekaligus memerintahkan
untuk lebih menutup badan dari penglihatan dan gangguan orang-orang
fasiq sementara budak yang masih sering disibukkan dengan kerja dan
membantu majikannya lebih diberi kebebasan dalam berpakaian.
Ketika wanita anshar (wanita muslimah asli Makkah yang berhijrah ke
Madinah) mendengar ayat ini turun maka dengan cepat dan serempak mereka
kelihatan berjalan tenang seakan burung gagak yang hitam sedang di atas
kepala mereka, yakni tenang -tidak melenggang- dan dari atas kelihatan
hitam dengan jilbab hitam yang dipakainya di atas kepala mereka.
Ayat ini terletak dalam Al-Qur’an setelah larangan menyakiti
orang-orang mukmin yang berarti sangat selaras dengan ayat sesudahnya
(ayat jilbab), sebab berjilbab paling tidak, bisa meminimalisir
pandangan laki-laki kepada wanita yang diharamkan oleh agama, dan sudah
menjadi fitrah manusia, dipandang dengan baik oleh orang lain adalah
lebih menyenangkan hati dan tidak berorentasi pada keburukan, lain
halnya apabila pandangan itu tidak baik maka tentu akan berdampak tidak
baik pula bagi yang dipandang juga yang melihat, nah, kalau sekarang
kita melihat kesebalikannya yaitu ketika para wanita lebih senang untuk
dipandang orang lain ketimbang suaminya sendiri maka itu adalah
kesalahan pada jiwa wanita yang perlu dibenarkan sedini mungkin dan
dibuang jauh jauh terlebih dahulu sebelum seorang wanita berbicara
kewajiban berjilbab.
Cara memakai jilbab
Cara memakai jilbab
Cara memakai jilbab dengan arti aslinya yaitu sebelum diserap ke
dalam bahasa Indonesia menjadi bahasa yang baku, adalah aturan yang mana
para sahabat dan ulama’ berbeda pendapat ketika menafsirkan ayat
Al-Qur’an di atas. Perbedaan cara memakai jilbab antara sahabat dan juga
antara ulama itu disebab bagaimana idnaa’ul jilbab (melabuhkan jilbab
atau melepasnya) yang ada dalam ayat itu. Ibnu Mas’ud dalam salah satu
riwayat dari Ibnu Abbas menjelaskan cara yang diterangkan Al-Qur’an
dengan kata idnaa’ yaitu dengan menutup semua wajah kecuali satu mata
untuk melihat, sedangkan sahabat Qotadah dan riwayat Ibnu Abbas yang
lain mengatakan bahwa cara memakainya yaitu dengan menutup dahi atau
kening, hidung, dengan kedua mata tetap terbuka. Adapun Al-Hasan
berpendapat bahwa memakai jilbab yang disebut dalam Al-Qur’an adalah
dengan menutup separuh muka, beliau tidak menjelaskan bagian separuh
yang mana yang ditutup dan yang dibuka ataukah tidak menutup muka sama
sekali.
Dari perbedaan pemahaman sahabat seputar ayat di atas itu muncul
pendapat ulama yang mewajibkan memakai niqob atau burqo’ (cadar) karena
semua badan wanita adalah aurat (bagian badan yang wajib ditutup)
seperti Abdul Aziz bin Baz Mufti Arab Saudi, Abu Al a’la Al maududi di
Pakistan dan tidak sedikit Ulama-ulama Turky, India dan Mesir yang
mewajibkan bagi wanita muslimah untuk memakai cadar yang menutup muka,
Hal di atas sebagaimana yang ditulis oleh Dr.Yusuf Qardlawi dalam Fatawa
Muashirah, namun beliau sendiri juga mempunyai pendapat bahwa wajah dan
telapak tangan wanita adalah tidak aurat yang harus ditutup di depan
laki-laki lain yang bukan mahram (laki-laki yang boleh menikahinya),
beliau juga menegaskan bahwa pendapat itu bukan pendapatnya sendiri
melainkan ada beberapa Ulama yang berpendapat sama, seperti Nashiruddin
Al-Albani dan mayoritas Ulama-ulama Al-Azhar, Qardlawi juga berpendapat
memakai niqob atau burqo’ (cadar) adalah kesadaran beragama yang tinggi
yang mana bila dipaksakan kepada orang lain, maka pemaksaan itu
dinilainya kurang baik, sebab wanita yang tidak menutup wajahnya dengan
cadar juga mengikuti ijtihad Ulama yang kredibelitas dalam berijtihadnya
dipertanggung jawabkan.
Sedangkan empat Madzhab, Hanafiyah, Malikiyah, Syafi`iyah dan
Hanabila berpendapat bahwa wajah wanita tidaklah aurat yang wajib
ditutupi di depan laki-laki lain bila sekira tidak ditakutkan terjadi
fitnah jinsiyah (godaan seksual), menggugah nafsu seks laki-laki yang
melihat. Sedangkan Syafi’iyah juga ada yang berpendapat bahwa wajah dan
telapak tangan wanita adalah aurat (bagian yang wajib ditutup) seperti
yang ada dalam kitab Madzahibul Arba’ah, diperbolehkannya membuka
telapak tangan dan wajah bagi wanita menurut mereka disebabkan wanita
tidak bisa tidak tertuntut untuk berinteraksi dengan masyarakat
sekitarnya baik dengan jual beli, syahadah (persaksian sebuah kasus),
berdakwah kepada masyarakatnya dan lain sebagainya, yang semuanya itu
tidak akan sempurnah terlaksana apabila tidak terbuka dan kelihatan.
Ringkasnya, para ulama Islam salafy (klasik)sampai yang muashir
(moderen) masih berselisih dalam hal tersebut di atas. Bagi muslimah
boleh memilih pendapat yang menurut dia adalah yang paling benar dan
autentik juga dengan mempertimbangkan hal lain yang lebih bermanfaat dan
penting dibanding hanya menutup wajah yang hanya bertujuan menghindari
fitnah jinsiyah yang masih belum bisa dipastikan bahwa hal itu memang
disebabkan membuka wajah dan telapak tangan saja.
Imam Zamahsyari dalam Al-Kasysyaf menyebutkan cara lain memakai
jilbab menurut para ulama yaitu dengan menutup bagian atas mulai dari
alis mata dan memutarkan kain itu untuk menutup hidung, jadi yang
kelihatan adalah kedua mata dan sekitarnya. Cara lain yaitu menutup
salah satu mata dan kening dan menampakkan sebelah mata saja, cara ini
lebih rapat dan lebih bisa menutupi dari pada cara yang tadi. Cara
selanjutnya yang disebutkan oleh Imam Zamahsyari adalah dengan menutup
wajah, dada dan memanjangkan kain jilbab itu ke bawah, dalam hal ini
jilbab haruslah panjang dan tidak cukup kalau hanya menutup kepala dan
leher saja tapi harus juga dada dan badan, Cara-cara di atas adalah
pendapat Ulama dalam menginterpretasikan ayat Al-Qur’an atau lebih
tepatnya ketika menafsirkan kata idnaa’ (melabuhkan jilbab atau
melepasnya kebawah).
Nah,mungkin dari sinilah muncul pendapat bahwa berjilbab atau menutup
kepala harus dengan kain yang panjang dan bisa menutup dada lengan dan
badan selain ada baju yang sudah menutupinya, karena jilbab menurut Ibnu
Abbas adalah kain panjang yang menutup semua badan, maka bila seorang
wanita muslimah hanya memakai tutup kepala yang relatif kecil ukurannya
yang hanya menutup kepala saja maka dia masih belum dikatakan berjilbab
dan masih berdosa karena belum sempurna dalam berjilbab seperti yang
diperintahkan agama.
Namun sekali lagi menutup kepala seperti itu di atas adalah kesadaran
tinggi dalam memenuhi seruan agama sebab banyak ulama yang tidak
mengharuskan cara yang demikian. Kita tidak diharuskan mengikuti
pendapat salah satu Ulama dan menyalahkan yang lain karena masalah ini
adalah masalah ijtihadiyah (yang mungkin salah dan mungkin benar menurut
Allah SWT) yang benar menurut Allah SWT akan mendapat dua pahala,
pahala ijtihad dan pahala kebenaran dalam ijtihad itu, dan bagi yang
salah dalam berijtihad mendapat satu pahala yaitu pahala ijtihad itu
saja, ini apabila yang berijtihad sudah memenuhi syarat-syaratnya.
Adalah sebuah kesalahan yaitu apabila kita memaksakan pendapat yang kita
ikuti dan kita yakini benar kepada orang lain, apalagi sampai
menyalahkan pendapat lain yang bertentangan tanpa tendensi pada argumen
dalil yang kuat dalam Al-Qur’an dan Hadist atau Ijma’.
Para Ulama sepakat bahwa menutup aurat cukup dengan kain yang tidak
transparan sehingga warna kulit tidak tampak dari luar dan juga tidak
ketat yang membentuk lekuk tubuh, sebab pakaian yang ketat atau yang
transparan demikian tidak bisa mencegah terjadinya fitnah jinsiyah
(godaan seksual)bagi laki-laki yang memandang secara sengaja atau tidak
sengaja bahkan justru sebaliknya lebih merangsang terjadinya hal
tersebut, atas dasar itulah para ulama sepakat berpendapat bahwa kain
atau model pakaian yang demikian itu belum bisa digunakan menutup aurat,
seperti yang dikehendaki Syariat dan Maqasidnya (tujuan penetapan suatu
hukum agama) yaitu menghindari fitnah jinsiyah (godaan seksual) yang di
sebabkan perempuan.
Selanjutnya kalau kita mengkaji sebab diturunkannya ayat di atas
yaitu ketika orang-orang fasiq mengganggu wanita-wanita merdeka dengan
berdalih tidak bisa membedakan wanita-wanita merdeka itu dari
wanita-wanita budak (wanita yang bisa dimiliki dan diperjual belikan),
maka kalau sebab yang demikian sudah tidak ada lagi pada masa sekarang,
karena memang sedah tidak ada budak, maka itu berarti menutup dengan
cara idnaa’ melabuhkan ke dada dan sekitarnya agar supaya bisa dibedakan
antara mereka juga sudah tidak diwajibkan lagi, adapun kalau di sana
masih ada yang melakukan cara demikian dengan alasan untuk lebih
berhati-hati dan berjaga-jaga dalam mencegah terjadinya fitnah jinsiyah
(godaan seksual) maka adalah itu masuk dalam katagori sunnat dan tidak
sampai kepada kewajiban yang harus dilaksanakan.
Namun bisa jadi ketika jilbab sudah memasyarakat sehingga banyak
wanita berjilbab terlihat di mall, pasar, kantor, kampus dan lain
sebagainya, namun cara mereka sudah tidak sesuai lagi dengan yang
diajarkan agama, misalnya tidak sempurna bisa menutup rambut atau dengan
membuka sebagian leher. Atau ada sebab lain, misalnya berjilbab hanya
mengikuti trend atau untuk memikat laki-laki yang haram baginya atau
disebabkan para muslimah yang berjilbab masih sering melanggar ajaran
agama di tempat-tempat umum yang demikian itu bisa mengurangi dan bahkan
menghancurkan wacana keluhuran dan kesucian Islam, sehingga dibutuhkan
sudah saatnya dibutuhkan kelmbali adanya pilar pembeda antara yang
berjilbab dengan rasa kesadaran penuh atas perintah Allah SWT dalam
Al-Qur’an dari para wanita muslimah yang hanya memakai jilbab karena
hal-hal di atas tanpa memahami nilai berjilbab itu sendiri.
Mungkin di saat seperti itulah memakai jilbab dengan cara melabuhkan
ke dada dan sekitarnya diwajibkan untuk mejadi pilar pembeda antara
jilbab yang ngetrend dan tidak Islami dari yang berjilbab yang Islami
dan ngetrend serta mengedepankan nilai jilbab dan tujuan disyariatkannya
jilbab itu.
Asy-Syaih Athiyah Shoqor (Ulama ternama Mesir) ketika ditanya hukum
seorang wanita yang cuma mengenakan penutup kepala yang bisa menutup
rambut dan leher saja tanpa memanjangkan kain penutup itu ke dada dan
sekitarnya, beliau menjawab dengan membagi permasalahan menutup aurat
(kepala) itu menjadi tiga :
1.Khimar (kerudung) yaitu segala bentuk penutup kepala wanita
baik itu yang panjang menutup kepala dada dan badan wanita atau yang
hanya rambut dan leher saja.
2.Niqob atau burqo’ (cadar) yaitu kain penutup wajah wanita dan ini
sudah ada dan dikenal dari zaman sebelum Islam datang seperti yang
tertulis di surat kejadian dalam kitab Injil. Namun kata beliau “ini
juga kadang disebut Khimar”.
3.Hijab (tutup) yaitu semua yang dimaksudkan untuk
mengurangi dan mencegah terjadinya fitnah jinsiyah (godaan seksual) baik
dengan menahan pandangan, tidak mengubah intonasi suara bicara wanita
supaya terdengan lebih menarik dan menggugah, menutup aurat dan lain
sebagainya, semuanya ini dinamankan hijab bagi wanita.
Nah untuk jilbab atau penutup kepala yang hanya menutup rambut dan
leher serta tidak ada sedikitpun cela yang menampakkan kulit wanita,
maka itu adalah batas minimal dalam menutup aurat wanita. Adapun apabila
melabuhkan kain penutup kepala ke bawah bagian dada dan sekitarnya maka
itu termasuk hukum sunat yang tidak harus dilakukan dan dilarang untuk
dipaksakan pada orang lain.
Beliau juga menambahkan apabila fitnah jinsiyah itu lebih
dimungkinkan dengan terbukanya wajah seorang wanita sebab terlalu cantik
dan banyak mata yang memandang maka menutup wajah itu adalah wajib
baginya, untuk menghindari hal yang tidak diinginkan selanjutnya, dan
bila kecantikan wajah wanita itu dalam stara rata-rata atau menengah ke
bawah maka menutupnya adalah sunat. Mungkin yang difatwakan oleh beliau
inilah jalan keluar terbaik untuk mencapai kebenaran dan jalan tengah
menempuh kesepakatan dalam masalah manutup wajah wanita dan berjilbab
yang dari dulu sampai sekarang masih di persengketakan ulama tentang
cara, wajib dan tidak wajibnya.
Khimar (kerudung)
Al-Qur’an juga datang dengan kata lain selain kata jilbab dalam mengutarakan penutup kepala sebagaimana yang termaktub dalam Surat An-Nuur : 31, Artinya: Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman:
“Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan jangan menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak padanya, dan hendaklan mereka menutupkan kain kudung di dadanya…
Al-Qur’an juga datang dengan kata lain selain kata jilbab dalam mengutarakan penutup kepala sebagaimana yang termaktub dalam Surat An-Nuur : 31, Artinya: Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman:
“Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan jangan menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak padanya, dan hendaklan mereka menutupkan kain kudung di dadanya…
Kata Khumur dalam penggalan ayat di atas bentuk jama’ (plural) dari
kata Khimar yang biasa diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai kerudung
yang tidak lebar dan tidak panjang, sedang kalau kita melihat arti
sebenarnya ketika Al-Qur’an itu datang kepada Nabi Muhammad SAW maka
Mufassirin (ulama ahli tafsir Al Quran) berbeda pendapat dan kita akan
melihat sedikit reduksi atau penyempitan arti dari arti pada waktu itu.
Imam Qurthubi menterjemahkan khumur secara lebih luas, yaitu semua
yang menutupi kepala wanita baik itu panjang atau tidak, begitu juga
dengan Imam Al-Alusiy beliau menterjemahkannya dengan kata miqna’ah yang
berarti tutup kepala juga, tanpa menjelaskan bentuknya panjang atau
lebarnya secara kongkrit.
Ayat Al-Qur’an di atas memerintahkan untuk memanjangkan kain penutup
itu ke bagian dada yang di ambil dari kata juyuub (saku-saku baju)
sehingga kalau wanita hanya memakai penutup kepala tanpa memanjangkannya
ke bagian dada maka dia masih belum melaksanakan perintah ayat di atas,
dengan kata lain penutup kepala menurut ayat di atas haruslah panjang
menutupi dada dan sekitarnya, disamping juga ada baju muslimah yang
menutupinya. Namun kalau kita teliti kata juyuub lebih lanjut dan
apabila kita juga melihat sebab ayat itu diturunkan maka kita akan
menemukan beberapa arti ayat (pendapat) yang dikemukakan oleh mufassir
yang berbeda dengan pemahaman di atas.
Kata juyuub dalam ayat di atas juga dibaca jiyuub dalam tujuh bacaan
Al-Qur’an yang mendapat legalitas dari umat Islam dan para Ulama dulu
dan sekarang (qira’ah sab’ah), kata juyuub adalah bentuk jama’(plural)
dari jaib yang berarti lubang bagian atas dari baju yang menampakkan
leher dan pangkal leher. Imam Alusi menjelaskan kata jaib yang diartikan
dengan lubangan untuk menaruh uang atau sejenisnya (saku baju) adalah
bukan arti yang berlaku dalam pembicaraan orang arab saat Al-Qur’an
turun, sebagaimana Ibnu Taimiyah juga berpendapat yang sama, Imam Alusi
juga menambahkan lagi dan berkata “tetapi kalaupun diartikan dengan saku
juga tidaklah salah”, dari pembenaran dia bahwa arti jaib adalah saku
tadi, Imam Alusiy artinya setuju kalau penutup kepala jilbab, kerudung
atau yang lain adalah harus sampai menutup dada, meskipun beliau tidak
mengungkapkannya dengan kata-kata yang jelas dan tegas tapi secara
implisit beliau tidak menyalahkan pendapat itu.
Imam Bukhari dalam kitab hadist shohihnya, beliau setuju bila kata
jaib diartikan dengan lubangan baju untuk menyimpan uang atau semisalnya
(saku baju) tetapi sebaliknya Ibnu Hajar dalam Syarah Shahih Bukhariy
(buku atau komentar kepada suatu karya tulis seorang pengarang kitab
dengan berupa kesetujuan penjelasan atau ketidak setujuan atau
menjelaskan maksud pengarang kitab aslinya) yang berjudul Fath Al-bari,
Ibn Hajar menjelaskan bahwa jaib adalah potongan dari baju sebagai
tempat keluarnya kepala, tangan atau yang lain.dan banyak ulama lain
yang sependapat dengan Ibnu Hajar, sedangkan Al-Ismaili mengartikan jaib
itu dengan lingkaran kera baju.
Pembahasan arti kata jaib ini terasa penting karena letak saku baju
tentu lebih di bawah dari pada kera atau lubangan leher baju,
selanjutnya apakah penutup kepala yang hanya menutupi leher dan pangkal
leher namun belum menutup sampai ke saku baju (yakni bagian dada) apakah
sudah memenuhi perintah Allah SWT dalam ayat Al-Qur’an di atas.
Dari arti jaib yang masih dipertentangkan maka arti kata Juyuub di
ayat tersebut di atas juga masih belum bisa di temukan titik temunya,
saku baju atau lubang kepala. Sehingga bila diartikan saku maka menutup
kepala dengan jilbab atau kain kerudung tidak cukup dengan yang pendek
dan atau kecil tetapi harus panjang dan lebar sehingga bisa menutup
tempat saku baju. Dan kalau juyuub dalam ayat di atas di artikan lubang
baju untuk leher maka menutup kepala cukup memakai yang bisa menutup
keseluruan aurat dengan sempurnah tanpa ada cela yang bisa menampakkan
kulit serta tidak harus di panjangkan ke dada.
Namun apabila kita kembali kepada sebab diturunkannya ayat tersebut,
seperti yang disebutkan dalam Lubabun Nuqul karya Imam Suyuti yaitu
ketika Asma’ binti Martsad sedang berada di kebun kormanya, pada saat
itu datanglah wanita-wanita masuk tanpa mengenakan penutup (yang
sempurna) sehingga tampaklah kaki, dada, dan ujung rambut panjang
mereka, lalu berkatalah Asma’, “Sungguh buruk sekali pemandangan ini”,
maka turunlah ayat di atas.
Lebih terang Imam Qurtubi menjelaskan sebab ayat ini diturunkan yaitu
karena wanita-wanita pada masa itu ketika metutup kepala maka mereka
melepaskan dan membiarkan kain penutup kepala itu ke belakang
punggungnya sehingga tidak menutup kepala lagi dan tampaklah leher dan
dua telinga tanpa penutup di atasnya, oleh sebab itulah kemudian Allah
SWT memerintahkan untuk melabuhkan kain jilbab ke dada sehingga leher
dan telinga serta rambut mereka tertutupi, akan tetapi tetapi lebih
lanjut Imam Qurtubi menjelaskan cara memakai tutup kepala, yaitu dengan
menutupkan kain ke jaib (saku atau lubang leher) sehingga dada mereka
juga ikut tertutupi.
Dari kedua sebab turunnya ayat di atas maka tampaknya bisa diambil
kesamaan bahwa ayat di atas turun karena aurat (dalam hal ini leher,
telinga dan rambut) masih belum tertutup dengan kain kerudung, sehingga
turunlah ayat di atas memerintahkan untuk menutupnya, dengan kata lain,
memanjangkan kain kerudung atau jilbab ke jaib (saku atau lubang leher)
itu adalah cara untuk menutup aurat yang diterangkan oleh Al-Qur’an
sesuai dengan keadaan wanita-wanita masa itu, artinya bila aurat sudah
tertutup tanpa harus memanjangkan kain kerudung atau jilbab ke dada maka
perintah memanjangkan itu sudah tidak wajib lagi sebab memanjangkan
adalah cara untuk bertujuan memuntup aurat sedang apabila tujuan yang
berupa menutup aurat itu sudah tercapai tanpa memanjangkan kain itu ke
dada kerana keadaan yang berbeda dan adapt yang tidak sama maka
boleh-boleh saja.
Ringkasnya jaib dengan arti lubang leher adalah tafsiran yang sesuai
dengan sabab turunnya ayat di atas, dan memanjangkan kain kerudung atau
jilbab ke dada adalah tidak diwajibkan oleh ayat Al-Qur’an di atas,
karena yang wajib adalah menutup aurat tanpa ada sedikitpun cela yang
menampakkan kulit autar wanita. Wallahu ‘alam bish shawab.
Aurat Wanita
Dari ayat di atas pula para ulama juga berbeda pendapat tentang kaki sampai mata kaki, tangan sampai pegelangan dan wajah dari seorang wanita apakah itu termasuk aurat yang wajib di tutup atukah tidak(?) Yaitu ketika menafsirkan kata ziinah (perhiasan) bagi yang mengartikan dengan perhiasan yang khalqiyah (keindahnya tubuh) seperti kecantikan dan daya tarik seorang wanita, bagi kelompok ini termasuk Imam Al-Qaffal kata “kecuali yang tampak darinya” diartikan dengan anggota badan yang tampak dalam kebiasaan dan keseharian masyarakat seperti wajah dan telapak tangan karena menutup keduanya adalah dorurat (keterpaksaan) yang bila diwajibkan akan bertentangan dengan agama Islam yang diturunkan penuh kemudahan bagi pemeluknya, oleh sebab itu tidak ada perbedaan pendapat dalam hal bolehnya membuka wajah dan telapak tangan (meski sebenarnya dalam madzhab syafi’i masih ada yang berbeda pendapat dalam hal ini, misalnya dalam kitab Azza Zawajir wajah dan telapak tangan wanita merdeka adalah aurat yang tidak boleh dibuka atau dilihat karena melihatnya bisa menimbulkan fitnah jinsiyah (godaan seksual), adapun di dalam shalat maka itu bukan aurat tetapi tetap haram untuk dibuka atau dilihat).
Dari ayat di atas pula para ulama juga berbeda pendapat tentang kaki sampai mata kaki, tangan sampai pegelangan dan wajah dari seorang wanita apakah itu termasuk aurat yang wajib di tutup atukah tidak(?) Yaitu ketika menafsirkan kata ziinah (perhiasan) bagi yang mengartikan dengan perhiasan yang khalqiyah (keindahnya tubuh) seperti kecantikan dan daya tarik seorang wanita, bagi kelompok ini termasuk Imam Al-Qaffal kata “kecuali yang tampak darinya” diartikan dengan anggota badan yang tampak dalam kebiasaan dan keseharian masyarakat seperti wajah dan telapak tangan karena menutup keduanya adalah dorurat (keterpaksaan) yang bila diwajibkan akan bertentangan dengan agama Islam yang diturunkan penuh kemudahan bagi pemeluknya, oleh sebab itu tidak ada perbedaan pendapat dalam hal bolehnya membuka wajah dan telapak tangan (meski sebenarnya dalam madzhab syafi’i masih ada yang berbeda pendapat dalam hal ini, misalnya dalam kitab Azza Zawajir wajah dan telapak tangan wanita merdeka adalah aurat yang tidak boleh dibuka atau dilihat karena melihatnya bisa menimbulkan fitnah jinsiyah (godaan seksual), adapun di dalam shalat maka itu bukan aurat tetapi tetap haram untuk dibuka atau dilihat).
Sedangkan yang menafsirkan kata ziinah (perhiasan) dengan perhiasan
yang biasa di pakai wanita, mulai dari yang wajib dipakai seperti baju,
pakaian bawah yang lain yang digunakan menutup badan wanitia sampai
perhiasan yang hanya boleh dipakai wanita seperti pewarna kuku, pewarna
telapak tangan, pewarna kulit, kalung, gelang, anting dan lain-lain,
maka mereka (mufassir) itu mengartikan kata “dengan perhiasan-perhiasan
yang biasa tampak” seperti cincin, celak mata, pewarna tangan dan yang
tidak mungkin untuk ditutup seperti baju, pakaian bawah bagian luar dan
jilbab atau kerudung.
Dan adapun telapak kaki maka tidak termasuk yang boleh di buka karena
keterpaksaan untuk membukanya dianggap tidak ada, namun yang lebih
shahih (benar) menurut Imam Ar-Rozi dalam tafsirnya hukum menampakkan
cincin, gelang, pewarna tangan, kuku, dan sebagainya adalah seperti
hukum membuka kaki yaitu haram untuk dibuka sebab tidak ada kebutuhan
yang memaksa untuk boleh membukanya menurut agama.
Semua hal di atas adalah di luar waktu melaksanakan shalat dan selain
wanita budak (wanita yang bisa dimiliki dan diperjual belikan) yaitu
wanita muslimah zaman sekarang.
Adapun waktu melaksakan shalat, Madzhab Hanafi berpendapat kalau
semua badan wanita adalah aurat dan termasuk di dalamnya adalah rambut
yang memanjang di samping telinga kecuali telapak tangan dan bagian atas
dari telapak kaki. Madzhab Syafi’i berpendapat yang sama yaitu semua
anggota badan wanita ketika shalat adalah aurat yang wajib ditutup
kecuali wajah telapak tangan dan telapak kaki yang dalam (yang putih).
Madzhab Hambali mengecualikan wajah saja selain itu semuanya aurat
termasuk telapak tangan dan kaki. Sedangkan ulama-ulama madzhab Maliki
menjelaskan bahwa dalam shalat aurat laki-laki, wanita merdeka dan
budak, terbagi menjadi dua:
1. Aurat mughalladhah (berat), untuk laki-laki aurat ini
adalah dua kemaluan depan dan belakang, sedangkan bagi wanita merdeka
aurat ini adalah semua badan kecuali tangan, kaki, kepala dada dan
sekitarnya (bagian belakangnya).
2. Aurat mukhaffafah (ringan), aurat ini untuk
laki-laki adalah selain mugalladhah yang berada diantara pusar dan
lutut, sedang untuk wanita merdeka adalah tangan, kaki, kepala, dada dan
bagian belakangnya, dua lengan tangan, leher, kepala, dari lutut sampai
akhir telapak kaki dan adapun wajah dan kedua telapak tangan (luar atau
dalam) tidak termasuk aurat wanita dalam shalat baik yang mugalladhah
atau yang mukhaffafah. Untuk wanita budak aurat ini adalah sebagaimana
laki-laki namun di tambah pantat dan sekitarnya dan kemaluan, vulva dan
bagian yang ditumbuhi rambut kemaluan itu.
Ulama-ulama madzhab Maliki juga menjelaskan bahwa apabila seorang
melakukan shalat dengan tidak menutup aurat mugalladhah meskipun hanya
sedikit dan dia mampu menutupnya baik membeli kain penutup atau meminjam
(tidak wajib menerima penutup aurat bila penutup aurat itu diberikan
dengan cara hibah pemberian murni) maka shalat yang demikian hukumnya
adalah tidak sah dan batal dan apabila dia ingat kewajiban untuk menutup
aurat itu maka wajib baginya untuk mengulang shalatnya ketika dia telah
siap melaksakan shalat dengan menutup aurat mughalladhah itu.
Sedangkan bila aurat mukhaffafah saja yang terbuka semua atau
sebagiannya maka shalatnya tetap sah, tetapi di haramkan atau di
makruhkan bila mampu untuk menutup aurat itu dengan sempurnah dan
apabila telah ada penutup aurat yang sempurnah maka dia di sunnatkan
untuk mengulang shalatnya (ada perincian tetacara pengulangan shalatnya
(lihat madzhibul arba’ah).
Hijab
Al-Qur’an juga mengungkapkan punutup seorang wanita dengan kata hijab yang artinya penutup secara umum, Allah SWT dalam surat Al-Ahzab ayat 58 memerintah kepada para sahabat Nabi SAW pada waktu mereka meminta suatu barang kepada istri-istri Nabi SAW untuk memintanya dari balik hijab (tutup). Artinya; Dan bila engkau meminta sesuatu (keparluan) kepada mereka (istri-istri Nabi SAW) maka mintalah dari belakang tabir,cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka… (Al-Ahzab : 58).
Al-Qur’an juga mengungkapkan punutup seorang wanita dengan kata hijab yang artinya penutup secara umum, Allah SWT dalam surat Al-Ahzab ayat 58 memerintah kepada para sahabat Nabi SAW pada waktu mereka meminta suatu barang kepada istri-istri Nabi SAW untuk memintanya dari balik hijab (tutup). Artinya; Dan bila engkau meminta sesuatu (keparluan) kepada mereka (istri-istri Nabi SAW) maka mintalah dari belakang tabir,cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka… (Al-Ahzab : 58).
Seperti yang di terangkan di atas, hijab lebih luas artinya dari kata
jilbab atau khimar meskipuan ayat di atas adalah turun untuk para
istri-istri Nabi Saw tapi para ulama` sepakat dalam hal ini bahwa semua
wanita muslimah juga termasuk dalam ayat di atas, sehingga yang di ambil
adalah umumnya arti suatu lafad atau kalimat ayat Al-Qur’an, bukan
sebab yang khusus untuk istri-istri Nabi saja.
Ayat di atas memerintahkan pada wanita muslimah untuk mengenakan
penutup yang demikian itu adalah lebih baik untuk dirinya dan laki-laki
lain yang sedang berkepentingan dengannya, adapun cara berhijab di atas
adalah dengan berbagai cara yang bisa menutup aurat dan tidak
bertentangan dengan maksud dari disyariatkannya pakaian penutup bagi
wanita, sehingga kalau memakai pakaian yang sebaliknya bisa merangsang
terjadinya keburukan maka itu bukan dan belum di namakan berhijab atau
bertutup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar