Menengok sejenak ke belakang, bercermin kembali dengan merenungi apa yang telah kulakukan, maka aku hanya bisa menghela nafas panjang tak banyak yang dapat kubanggakan dari goresan hidup masa laluku. Bercak noda hitamku di masa silam saat aku duduk di bangku SMU sungguh tak dapat kulupakan. Hingga kini masih terngiang-ngiang dalam benak pikiranku berbagai beban dosa dan kesalahan berat saat aku ketika itu memposisikan diri sebagai informan misionaris.
Tentang profesiku sebagai intel Katolik ini pada mulanya tak banyak orang tahu, termasuk keluargaku, kecuali ibu. Beliau sangat menyesalkan sikap nekadku menyebrangi keyakinan menyimpang. Akupun tak tahu dan tak mengerti dengan diriku. Kenapa aku sampai terbawa arus pemurtadan kaum sesat itu. Mungkin, karena aku salah bergaul dan memilih teman.
Kucoba untuk mengingat-ingat kembali lembaran kusam silamku. Ya, aku masih ingat bahwa Mall sebagai pusat nongkrong anak muda adalah tempat rekrutmen awalku menjelajahi dunia Nasrani yang kelam. Jumlah siswa-siswi Muslim yang menjadi rekrutmen Kristen begitu banyak. Dalam sebulan bisa mencapai lima puluhan, meski akhirnya disaring mencapai dua puluhan orang, atas pertimbangan, rekrutmen misionaris harus berasal dari keluarga fanatik. Tujuannya, demi memuluskan niatan busuk mereka dalam mengelabui massa islam lainnya. Kebetulan, aku dipandang keluarga fanatik. Sedang almarhum kekekku juga adalah seorang kiai dan tokoh agamis yang karismatik.
Begitu pandainya kaum misionaris membidik dunia anak muda sebagai terobosan aksi pemurtadan. Apa yang sedang digandrungi kawula muda, seperti ajang gaul, dunia seni, budaya dan sebagainya dimanfaatkan dan dijadikan celah oleh mereka untuk menggaet rekrutmen sebanyak-banyaknya. Tak heran kalau akhirnya mereka mendirikan banyak LSM yang peduli dengan hobi dan kreasi anak-anak muda. Merekapun sangat risfek dan peduli dengan berbagai masalah dan persoalan para remaja yang broken home, stress, dan kurang mendapatkan kasih sayang orangtua. Tentu saja perangkap mereka disambut dengan tangan terbuka oleh para remaja labil ini. Tapi biasanya untuk criteria anak-anak remaja semacam ini hanya diarahkan untuk menjadi korban pemurtadan.
Aku sadar bahwa sejak kelas satu SMU aku tak lagi Muslimah. Sebab, mereka telah membaptisku. Kala itu kurasakan, jiwaku terlepas dan terhempas. Nilai ruhiahku tak lagi bersemayam dalam hati dan kepribadianku. Aku benar-bena telah menjadi seorang yang murtad dari agama yang lurus ini. Pertemuan rutin seminggu dua kali tanpa kusadari telah mendokrinku dan memperkuat keyakinanku yang tak lagi islami.
Aku telah terbawa arus begitu jauh, Kafa’ah (potensi) ku dalam hal lobi-melobi setiap kepala sekolah, benar-benar dimanfaatkan pihak misionaris katolik. Kedudukan ayahku meski tidak tinggi di Depdikbud memperlancar proses down yang kulakukan terhadap setiap kepala sekolah di SMU Jakarta. Setan tertawa terbahak saat aku berhasil meloloskan sekolah SMU di Jakarta. Aku tak tahu persis sudah berapa banyak rekan-rekan remaja muslim yang telah kuhantarkan ke jurang akidah sesat. Sebab tugasku selama ini hanya sebatas informan dan pelobi awal. Tugas selanjtunya, yaitu memasukan program-program pemurtadan ditindaklanjuti oleh para misionaris katolik. Yang sangat riil kurasakan di sekolahku adalah pihak katolik telah berhasil mengondisikan sekolahku membiasakan doa bersama dengan pola cara yang tak lagi islami.
Tugasku sebagai informan tidak berhenti sampai di situ. Pembinaku yang biasa dipanggil oleh rekan-rekanku sesama informan dengan sebutan”Father” mengarahkanku untuk selalu menyadap berita dan informasi penting tentang pergerakan islam yang makin marak di sekolah-sekolah umum. Tugasku adalah mencatat, sudah sejauh mana perkembangan gerak para aktivis muslim di sekolah-sekolah. Aku juga sempat menginformasikan kepada mereka tentang pola cara penyebaran fikrah ala kaum muslimin di beberapa sekolah SMU.
Tentu saja misionaris merasa senang dengan keluguanku yang seperti kerbau dicocok hidungnya. Pasrah diapakan saja oleh mereka. Meski aku berangkat dari keluarga berada dan mampu membiayaiku dan pendidikanku, tapi mereka para misionaris itu memberikan uang atas jasaku sebagai informan mereka.
Informasi demi informasi kuberikan setiap hari kepada mereka, dari hal terkecil sampai yang terbesar. Upaya gigihku ini semakin menumbuhkan kepercayaan mereka terhadap diriku. Sejak itu aku ditawarkan subsidi untuk biaya pendidikanku. Kata mereka, aku berhak disekolahkan mereka setinggi-tingginya, asalkan aku selalu siap diarahkan mereka.
Apa yang kulakukan selama ini akhirnya tercium oleh ibuku. Beliau sangat terkejut ketika mengetahui status agamaku yang sebenarnya dan posisiku sebagai informan katolik. Dengan penuh kasih sayang dan sekuat tenaga ia berupaya menyadarkan aku. Tapi akidahku tak bergeming sama sekali. Kala itu aku tetap berpegang teguh sebagai seorang kristiani. Sampai akhirnya, ibuku merasa letih sendiri karena kehabisan akal untuk menasehatiku. Beliau adalah ibu terbaik sepanjang hidupku. Meski antara ibu dan anak beda akidah, beliau tetap baik terhadapku dan memperlakukan aku sebagai anak kesayangannya. Dengan linangan air mata,ia menyuruhku untuk berhijrah ke tempat saudaraku agar statusku sebagai penganut Kristen katolik tidak diketahui ayah dan saudara-saudaraku. Hingga kini mereka memang tidak mengetahui status agamaku itu.
Aku menuruti kehendak ibu yang menginginkan aku tak serumah lagi dengannya. Aku jauh dari ibu. Sepanjang itu aku tak tahu kalau ibu ternyata begitu perhatian sekali terhadap nasibku di dunia dan akhirat. Dia sangat mengkhawatirkan aku dan tak rela kalau aku masuk neraka. Siang malam ibu berdoa agar Allah berkenan membukakan hidayah-Nya kembali untukku.
Sebelum aku murtad kurasakan berbagai sentuhan nasihatnya yang begitu sejuk menyentuh kalbu ini. Aku masih ingat saat-saat indah bersama ibu ketika beliau mengajariku membaca al-Qur’an. Kebetulan, selain sebagai ibu rumah tangga, di luar rumah beliau berprofesi sebagai guru agama di SLTP.
Terakhir kudengar kabar bahwa ibuku jatuh sakit. Waktu itu aku masih duduk di kelas dua SMU. Akupun menjenguknya. Tapi ibu memalingkan wajahnya saat sakitnya makin parah. Ia memerintahkan saudaraku untuk menyuruhku keluar dari ruangan tidurnya. Aku tak lagi diperkenankan untuk melihat wajah kecintanku. Melihat perlakuan ibu demiikian, aku tidak merasa sakit hati. Aku sadar kalau diriku selama ini telah mengcewakan ibu dan keluarga.
Sakaratul maut menjelang ibu. Belum lagi aku sempat bergegas pergi dari pintu rumahku, ibu dipanggil ke haribaan Allah sang Rabbul Izzati. Beliau telah meninggalkanku dengan membawa pengharapan besar, yaitu perkenaan Allah atas kembalinya kesadaranku pada akidah yang lurus (Islam).
Sepeninggal ibu aku selalu murung dan merenung panjang. Aku mencoba menggunakan daya nalarku yang sempit ini untuk berpikir dan bermuhasabah tentang hakikat hidup ini. Akhirnya lewat renungan panjang selama kurang lebih setahun sepeninggalan ibunda, Allah mengembalikan kesadaranku untuk kembali ke pangkuan Islam. Kala itu aku sudah memulai kuliahku di salah satu Universitas Negeri.
Aku bersyukur kepada Allah mendapatkan tempat kuliah yang sangat kondusif. Lingkungan kampus yang islami ini telah menyentakkan ingatan dan kesadaranku terhadap kesalahanku selama ini. Di kampus begitu banyak aktivis muslim dan muslimah. Sikap dan perilaku mereka menampakkan kecerdasan emosional. Intelektual, dan spiritual. Baru kusadar, ternyata Islamlah yang membentuk mereka menjadi pribadi-pribadi muslim yang tangguh.
Terbersit dalam hatiku rasa iri terhadap mereka. Hatiku mengatakan, betapa sakinahnya bila aku menjadi aktivis muslimah yang kuat akidahnya. Mungkin nantinya bila aku seperti mereka, pemahamanku tentang islam tak lagi keliru.
Akhirnya tekat hati untuk bergabung dengan mereka semakin kuat. Alhamdulillah, Allah memudahkan langkahku menuju pintu hidayah, kehadiranku ke Islam disambut gembira oleh rekan-rekan aktivis muslim di kampus.
Aku meminta perlindungan kepada mereka. Sebab sejak keislamanku kembali, kaum misionaris itu tidak begitu saja membiarkanku keluar dari komunitas mereka. Beberapa kali aku diancam. Tentang Perihal terror tersebut kuadukan kepada ketua aktivis kampus. Alhamdulillah, ia dan rekan-rekanku siap mensupport dan membelaku bila ada pihak-pihak misionaris yang berani berbuat macam-macam terhadapku. Sejak itu, kehidupanku kembali normal bahkan bertambah nilai kekuatan imanku.
Waktu berputar mengelilingi kedewasaanku dalam menyikapi ajaran agama islam. Aku merasa jauh lebih baik saat aku berislam atas dasar kemauan hatiku sendiri, bukan karena factor keturunan. Pencarianku terhadap hidayah tidak sia-sia. Ada hikmah besar yang dapat kupetik, ternyata setelah aku membedakan antara islam dan agama lain, kudapati islam jauh lebih unggul. Kebenaran mutlak ada pada islam.
Diusiaku yang ke duapuluh empat tahun ini, ayahku meminta untuk segera memasuki jenjang rumah tangga. Teringat dengan ibu yang kala itu aku tak sempat berbakti sebagai anak shalihah karena status agamaku yang berbeda, maka aku tak ingin kekecewaan ibu itu terulang kembali kepada ayah. Aku bertekad akan memperkuat hubungan birrul walidain. Untuk itu dengan penuh kerendahan dan keikhlasan hati, kuturuti permintaan ayahandaku.
Namun aku dihadapkan oleh kendala. Setiap aku melakukan ta’aruf dengan calon suamiku yang rata-rata adalah aktivis Islam, aku seperti didamparkan. Mereka menolakku ketika mereka tahu tentang latar belakangku. Mereka masih meragukan keislamanku. Bahkan diantara rekan-rekanku ada yang mensinyalir bahwa kekuatan Kristen katolik itu masih bersemayam dalam tubuh dan hatiku dengan perantara jin kafir. Kemudian mereka menyarankan aku untuk diruqyah. Beberapa kali aku diruqyah oleh salah seorang ustad, bahkan sampai dibekam segala.
Kupahami bahwa ini adalah bagian dari ujian Allah swt. Aku percaya bahwa Allah takkan membiarkanku sengsara karena tak sanggup menanggung fitnahan sebagai infitran katolik yang menyusup ke dalam salah satu pergerakan islam. Aku yakin, kelak Dia akan menampakkan bahwa kebenaran itu adalah hak dan kebatilan itu adalah batil. Akhirnya, aku bersimpuh kepada Allah swt, memohon ampunan atas segala kesalahanku di masa silam. Sungguh aku menyesal telah memurtadkan banyak orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar